Wednesday, March 10, 2010

Asal Mula Blangkon


Blangkon adalah tutup kepala yang digunakan oleh kaum pria sebagai bagian dari pakaian tradisional jawa. Blangkon sebenarnya bentuk praktis dari iket yang merupakan tutup kepala yang dibuat dari batik. Tidak ada catatan sejarah yang dapat menjelaskan asal mula pria jawa memakai ikat kepala atau penutup kepala ini.

Pada masyarakat jawa jaman dahulu, memang ada satu cerita Legenda tentang Aji Soko. Dalam cerita ini, keberadaan iket kepala pun telah disebut, yaitu saat Aji Soko berhasil mengalahkan Dewata Cengkar, seorang raksasa penguasa tanah Jawa, hanya dengan menggelar sejenis sorban yang dapat menutup seluruh tanah Jawa. Padahal seperti kita ketahui , Aji Soko kemudian dikenal sebagai pencipta dan perumus permulaan tahun Jawa yang dimulai pada 1941 tahun yang lalu.

Ada sejumlah teori yang menyatakan bahwa pemakaian blangkon merupakan pengaruh dari, budaya Hindu dan Islam yang diserap oleh orang Jawa. Menurut para ahli, orang Islam yang masuk ke Jawa terdiri dari dua etnis yaitu keturuan cina dari Daratan Tiongkok dan para pedagang Gujarat. Para pedagang Gujarat ini adalah orang keturunan Arab, mereka selalu mengenakan sorban, yaitu kain panjang dan lebar yang diikatkan di kepala mereka. Sorban inilah yang meng-inspirasi orang jawa untuk memakai iket kepala seperti halnya orang keturunan arab tersebut.

Ada teori lain yang berasal dari para sesepuh yang mengatakan bahwa pada jaman dahulu, iket kepala tidaklah permanen seperti sorban yang senantiasa diikatkan pada kepala. Tetapi dengan adanya masa krisis ekonomi akibat perang, kain menjadi satu barang yang sulit didapat. Oleh sebab itu , para petinggi keraton meminta seniman untuk menciptakan ikat kepala yang menggunakan separoh dari biasanya untuk efisiensi Maka terciptalah bentuk penutup kepala yang permanen dengan kain yang lebih hemat yang disebut blangkon.

Pada jaman dahulu, blangkon memang hanya dapat dibuat oleh para seniman ahli dengan pakem (aturan) yang baku. Semakin memenuhi pakem yang ditetapkan, maka blangkon tersebut akan semakin tinggi nilainya. Seorang ahli kebudayaan bernama Becker pernah meneliti tata cara pembuatan Blangkon ini, ternyata pembuatan blangkon memerlukan satu keahlian yang disebut “virtuso skill”. Menurut nya : “That an object is useful, that it required virtuso skill to make –neither of these precludes it from also thought beatiful. Some craft generete from within their own tradition a feeling for beauty and with it appropriete aesthetic standards and common of taste”.

Penilaian mengenai keindahan blangkon, selain dari pemenuhan terhadap pakem juga tergantung sejauh mana seseorang mengerti akan standard cita rasa serta ketentuan- ketentuan yang sudah menjadi standar sosial. Pakem yang berlaku untuk blangkon, ternyata bukan hanya harus dipatuhi oleh pembuatnya, tetapi juga oleh para penggunanya. Seperti yang diungkapkan oleh Becker sebagai berikut: “By accepting beauty as a criterion, participants in craft activities on a concern characteristic of the folk definition of art. That definition includes an emphasis on beauty as typified in the tradition of some particular art, on the traditions and conserns of the art world itself as the source of value, on expression of someone’s thoughts and feelings, and on the relative freedom of artist from outside interference with the work”.

Blangkon pada prinsipnya terbuat dari kain iket atau udeng berbentuk persegi empat bujur sangkar. Ukurannya kira-kira selebar 105 cm x 105 cm. Yang dipergunakan sebenarnya hanya separoh kain tersebut. Ukuran blangkon diambil dari jarak antara garis lintang dari telinga kanan dan kiri melalui dahi dan melaui atas. Pada umumnya bernomor 48 paling kecil dan 59 paling besar. Blangkon terdiri dari beberapa tipe yaitu : Menggunakan mondholan, yaitu tonjolan pada bagian belakang blangkon yang berbentuk seperti Onde-onde. Blangkon ini disebut sebagai blangkon gaya Yogyakarta. Tonjolan ini menandakan model rambut pria masa itu yang sering mengikat rambut panjang mereka di bagian belakang kepala, sehingga bagian tersebut tersembul di bagian belakang blangkon. Lilitan rambut itu harus kencang supaya tidak mudah lepas.
Model trepes, yang disebut dengan gaya Surakarta. Gaya ini merupakan modifikasi dari gaya Yogyakarta yang muncul karena kebanyakan pria sekarang berambut pendek. Model trepes ini dibuat dengan cara menjahit langsung mondholan pada bagian belakang blangkon. Selain dari suku Jawa (sebagian besar berasal dari provinsi Jawa Tengah, DIY, dan Jawa Timur), ada beberapa suku laindi Indonesia yang memakai iket kepala yang mirip dengan blangkon jawa yaitu : suku Sunda (sebagian besar berasal dari provinsi Jawa Barat dan Banten), suku Madura, suku Bali, dan lain-lain. Hanya saja dengan pakem dan bentuk ikat yang berbeda-beda.

MENGENAL PRINSIP AKUNTANSI SYARIAH

Akuntansi dikenal sebagai sistem pembukuan “double entry”. Menurut sejarah yang diketahui awam dan terdapat dalam berbagai buku “Teori Akuntansi”, disebutkan muncul di Italia pada abad ke-13 yang lahir dari tangan seorang Pendeta Italia bernama Luca Pacioli. Beliau menulis buku “Summa de Arithmatica Geometria et Propotionalita” dengan memuat satu bab mengenai “Double Entry Accounting System”. Dengan demikian mendengar kata ”Akuntansi Syariah” atau “Akuntansi Islam”, mungkin awam akan mengernyitkan dahi seraya berpikir bahwa hal itu sangat mengada-ada.

Namun apabila kita pelajari “Sejarah Islam” ditemukan bahwa setelah munculnya Islam di Semananjung Arab di bawah pimpinan Rasulullah SAW dan terbentuknya Daulah Islamiah di Madinah yang kemudian di lanjutkan oleh para Khulafaur Rasyidin terdapat undang-undang akuntansi yang diterapkan untuk perorangan, perserikatan (syarikah) atau perusahaan, akuntansi wakaf, hak-hak pelarangan penggunaan harta (hijr), dan anggaran negara. Rasulullah SAW sendiri pada masa hidupnya juga telah mendidik secara khusus beberapa sahabat untuk menangani profesi akuntan dengan sebutan “hafazhatul amwal” (pengawas keuangan). Bahkan Al Quran sebagai kitab suci umat Islam menganggap masalah ini sebagai suatu masalah serius dengan diturunkannya ayat terpanjang , yakni surah Al-Baqarah ayat 282 yang menjelaskan fungsi-fungsi pencatatan transaksi, dasar-dasarnya, dan manfaat-manfaatnya, seperti yang diterangkan oleh kaidah-kaidah hukum yang harus dipedomani dalam hal tersebut. Sebagaimana pada awal ayat tersebut menyatakan “Hai, orang-orang yang beriman apabila kamu bermuamalah tidak secara tunai untuk waktu yang ditentukan, hendaklah kamu menuliskannya. Dan hendaklah seorang penulis di antara kamu menuliskannya dengan benar. Dan janganlah penulis enggan menuliskannya sebagaimana Allah telah mengajarkannya………”

Dengan demikian, dapat kita saksikan dari sejarah, bahwa ternyata Islam lebih dahulu mengenal system akuntansi, karena Al Quran telah diturunkan pada tahun 610 M, yakni 800 tahun lebih dahulu dari Luca Pacioli yang menerbitkan bukunya pada tahun 1494.

Dari sisi ilmu pengetahuan, Akuntansi adalah ilmu informasi yang mencoba mengkonversi bukti dan data menjadi informasi dengan cara melakukan pengukuran atas berbagai transaksi dan akibatnya yang dikelompokkan dalam account, perkiraan atau pos keuangan seperti aktiva, utang, modal, hasil, biaya, dan laba. Dalam Al Quran disampaikan bahwa kita harus mengukur secara adil, jangan dilebihkan dan jangan dikurangi. Kita dilarang untuk menuntut keadilan ukuran dan timbangan bagi kita, sedangkan bagi orang lain kita menguranginya. Dalam hal ini, Al Quran menyatakan dalam berbagai ayat, antara lain dalam surah Asy-Syu’ara ayat 181-184 yang berbunyi:”Sempurnakanlah takaran dan janganlah kamu termasuk orang-orang yang merugikan dan timbanglah dengan timbangan yang lurus. Dan janganlah kamu merugikan manusia pada hak-haknya dan janganlah kamu merajalela di muka bumi dengan membuat kerusakan dan bertakwalah kepada Allah yang telah menciptakan kamu dan umat-umat yang dahulu.”

Kebenaran dan keadilan dalam mengukur (menakar) tersebut, menurut Umer Chapra juga menyangkut pengukuran kekayaan, utang, modal pendapatan, biaya, dan laba perusahaan, sehingga seorang Akuntan wajib mengukur kekayaan secara benar dan adil. Seorang Akuntan akan menyajikan sebuah laporan keuangan yang disusun dari bukti-bukti yang ada dalam sebuah organisasi yang dijalankan oleh sebuah manajemen yang diangkat atau ditunjuk sebelumnya. Manajemen bisa melakukan apa saja dalam menyajikan laporan sesuai dengan motivasi dan kepentingannya, sehingga secara logis dikhawatirkan dia akan membonceng kepentingannya. Untuk itu diperlukan Akuntan Independen yang melakukan pemeriksaaan atas laporan beserta bukti-buktinya. Metode, teknik, dan strategi pemeriksaan ini dipelajari dan dijelaskan dalam Ilmu Auditing.

Dalam Islam, fungsi Auditing ini disebut “tabayyun” sebagaimana yang dijelaskan dalam Surah Al-Hujuraat ayat 6 yang berbunyi: “Hai orang-orang yang beriman, jika datang kepadamu orang fasik membawa suatu berita, maka periksalah dengan teliti, agar kamu tidak menimpakan suatu musibah kepada suatu kaum tanpa mengetahui keadaannya yang menyebabkan kamu menyesal atas perbuatanmu itu.”

Kemudian, sesuai dengan perintah Allah dalam Al Quran, kita harus menyempurnakan pengukuran di atas dalam bentuk pos-pos yang disajikan dalam Neraca, sebagaimana digambarkan dalam Surah Al-Israa’ ayat 35 yang berbunyi: “Dan sempurnakanlah takaran apabila kamu menakar, dan timbanglah dengan neraca yang benar. Itulah yang lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya.”

Dari paparan di atas, dapat kita tarik kesimpulan, bahwa kaidah Akuntansi dalam konsep Syariah Islam dapat didefinisikan sebagai kumpulan dasar-dasar hukum yang baku dan permanen, yang disimpulkan dari sumber-sumber Syariah Islam dan dipergunakan sebagai aturan oleh seorang Akuntan dalam pekerjaannya, baik dalam pembukuan, analisis, pengukuran, pemaparan, maupun penjelasan, dan menjadi pijakan dalam menjelaskan suatu kejadian atau peristiwa.

Dasar hukum dalam Akuntansi Syariah bersumber dari Al Quran, Sunah Nabwiyyah, Ijma (kespakatan para ulama), Qiyas (persamaan suatu peristiwa tertentu, dan ‘Uruf (adat kebiasaan) yang tidak bertentangan dengan Syariah Islam. Kaidah-kaidah Akuntansi Syariah, memiliki karakteristik khusus yang membedakan dari kaidah Akuntansi Konvensional. Kaidah-kaidah Akuntansi Syariah sesuai dengan norma-norma masyarakat islami, dan termasuk disiplin ilmu sosial yang berfungsi sebagai pelayan masyarakat pada tempat penerapan Akuntansi tersebut.

Persamaan kaidah Akuntansi Syariah dengan Akuntansi Konvensional terdapat pada hal-hal sebagai berikut:

1. Prinsip pemisahan jaminan keuangan dengan prinsip unit ekonomi;
2. Prinsip penahunan (hauliyah) dengan prinsip periode waktu atau tahun pembukuan keuangan;
3. Prinsip pembukuan langsung dengan pencatatan bertanggal;
4. Prinsip kesaksian dalam pembukuan dengan prinsip penentuan barang;
5. Prinsip perbandingan (muqabalah) dengan prinsip perbandingan income dengan cost (biaya);
6. Prinsip kontinuitas (istimrariah) dengan kesinambungan perusahaan;
7. Prinsip keterangan (idhah) dengan penjelasan atau pemberitahuan.

Sedangkan perbedaannya, menurut Husein Syahatah, dalam buku Pokok-Pokok Pikiran Akuntansi Islam, antara lain, terdapat pada hal-hal sebagai berikut:

1. Para ahli akuntansi modern berbeda pendapat dalam cara menentukan nilai atau harga untuk melindungi modal pokok, dan juga hingga saat ini apa yang dimaksud dengan modal pokok (kapital) belum ditentukan. Sedangkan konsep Islam menerapkan konsep penilaian berdasarkan nilai tukar yang berlaku, dengan tujuan melindungi modal pokok dari segi kemampuan produksi di masa yang akan datang dalam ruang lingkup perusahaan yang kontinuitas;
2. Modal dalam konsep akuntansi konvensional terbagi menjadi dua bagian, yaitu modal tetap (aktiva tetap) dan modal yang beredar (aktiva lancar), sedangkan di dalam konsep Islam barang-barang pokok dibagi menjadi harta berupa uang (cash) dan harta berupa barang (stock), selanjutnya barang dibagi menjadi barang milik dan barang dagang;
3. Dalam konsep Islam, mata uang seperti emas, perak, dan barang lain yang sama kedudukannya, bukanlah tujuan dari segalanya, melainkan hanya sebagai perantara untuk pengukuran dan penentuan nilai atau harga, atau sebagi sumber harga atau nilai;
4. Konsep konvensional mempraktekan teori pencadangan dan ketelitian dari menanggung semua kerugian dalam perhitungan, serta mengenyampingkan laba yang bersifat mungkin, sedangkan konsep Islam sangat memperhatikan hal itu dengan cara penentuan nilai atau harga dengan berdasarkan nilai tukar yang berlaku serta membentuk cadangan untuk kemungkinan bahaya dan resiko;
5. Konsep konvensional menerapkan prinsip laba universal, mencakup laba dagang, modal pokok, transaksi, dan juga uang dari sumber yang haram, sedangkan dalam konsep Islam dibedakan antara laba dari aktivitas pokok dan laba yang berasal dari kapital (modal pokok) dengan yang berasal dari transaksi, juga wajib menjelaskan pendapatan dari sumber yang haram jika ada, dan berusaha menghindari serta menyalurkan pada tempat-tempat yang telah ditentukan oleh para ulama fiqih. Laba dari sumber yang haram tidak boleh dibagi untuk mitra usaha atau dicampurkan pada pokok modal;
6. Konsep konvensional menerapkan prinsip bahwa laba itu hanya ada ketika adanya jual-beli, sedangkan konsep Islam memakai kaidah bahwa laba itu akan ada ketika adanya perkembangan dan pertambahan pada nilai barang, baik yang telah terjual maupun yang belum. Akan tetapi, jual beli adalah suatu keharusan untuk menyatakan laba, dan laba tidak boleh dibagi sebelum nyata laba itu diperoleh.

Dengan demikian, dapat diketahui, bahwa perbedaan antara sistem Akuntansi Syariah Islam dengan Akuntansi Konvensional adalah menyentuh soal-soal inti dan pokok, sedangkan segi persamaannya hanya bersifat aksiomatis.

Menurut, Toshikabu Hayashi dalam tesisnya yang berjudul “On Islamic Accounting”, Akuntansi Barat (Konvensional) memiliki sifat yang dibuat sendiri oleh kaum kapital dengan berpedoman pada filsafat kapitalisme, sedangkan dalam Akuntansi Islam ada “meta rule” yang berasal diluar konsep akuntansi yang harus dipatuhi, yaitu hukum Syariah yang berasal dari Tuhan yang bukan ciptaan manusia, dan Akuntansi Islam sesuai dengan kecenderungan manusia yaitu “hanief” yang menuntut agar perusahaan juga memiliki etika dan tanggung jawab sosial, bahkan ada pertanggungjawaban di akhirat, dimana setiap orang akan mempertanggungjawab kan tindakannya di hadapan Tuhan yang memiliki Akuntan sendiri (Rakib dan Atid) yang mencatat semua tindakan manusia bukan saja pada bidang ekonomi, tetapi juga masalah sosial dan pelaksanaan hukum Syariah lainnya.

Jadi, dapat kita simpulkan dari uraian di atas, bahwa konsep Akuntansi Islam jauh lebih dahulu dari konsep Akuntansi Konvensional, dan bahkan Islam telah membuat serangkaian kaidah yang belum terpikirkan oleh pakar-pakar Akuntansi Konvensional. Sebagaimana yang terjadi juga pada berbagai ilmu pengetahuan lainnya, yang ternyata sudah diindikasikan melalui wahyu Allah dalam Al Qur’an. “……… Dan Kami turunkan kepadamu Al Kitab (Al Quran) untuk menjelaskan segala sesuatu dan petunjuk serta rahmat dan kabar gembira bagi orang-orang yang berserah diri.” (QS.An-Nahl/ 16:89)

Monday, March 1, 2010

VISI DAN MISI PT BATIK DANAR HADI

Visi & Misi Perusahaan MASA DEPAN BATIK DANAR HADI, MASA DEPAN BATIK INDONESIA Bersandar Pada Keuletan, Keahlian, Pengalaman, & Sentuhan Citarasa Seni

Kelompok Usaha Danar Hadi, dengan pencapaian dalam kualitas dan keahlian, memiliki masa depan cerah dalam industri batik. Semua itu di dukung filosofi perusahaan yang mengakar kuat pada seni tradisional yang diusungnya, fasilitas, pengalaman, dan keahlian dalam manajemen usahanya. Pasar internasioanl yang ada belum sepenuhnya digarap seperti yang sudah dilakukan pada pasar domestik yang terus berkembang dan menyita perhatian. Pada milenium mendatang, Batik Danar Hadi akan berusaha lebih keras untuk menembus pasar mancanegara dengan menjalin kerja sama dengan mitra-mitra usaha batik di Asia Tenggara maupun negara lainnya.

Berpijak pada idealisme mendasar untuk menyumbangkan sesuatu yang bernilai terhadap seni tradisioanl batik, pengembangan produk Batik Danar Hadi bersifat multidimensional yang taat asas. Secara luas batik dapat dipresentasikan ke dalam berbagai format perangkat kebutuhan sehari-hari, perangkat khusus, dan perangkat ekslusif. Pada pola pengembangan yang demikian, disamping tetap mengembangkan batik secara fungsional mendasar - sebagai busana dalam arti seluas-luasnya - Batik Danar Hadi telah menentukan pengembangan kepada fungsi-fungsi lain sebagai agenda tetapnya. Batik dalam memfungsikan batik sebagai piranti griya piranti perkantoran, maupun aneka piranti lain yang berkaitan erat dengan perkembangan teknologi dan gaya hidup pada milenium mendatang.